forumku.com logo Forumku Borobudur Budaya Indonesia
forumku  

Go Back   forumku > > >
Register Register
Notices

Forum Militer dan Pertahanan | Defence and Military Forum Militer dan Pertahanan Indonesia.

Post New Thread  Reply
 
Thread Tools Search this Thread Display Modes
Old 1st November 2016, 09:41 AM   #1
Ketua RT
 
Join Date: 3 Oct 2016
Userid: 5572
Posts: 156
Likes: 0
Liked 2 Times in 2 Posts
Default Ruu anti teror rusak kepastian hukum

---- source: http://www.hobbymiliter.com/?p=4724 ------- Catatan Redaksi: Tulisan berikut merupakan opini kiriman dari Pambudidoyo, seorang praktisi hukum dan pengamat militer Indonesia (- redaksi).
Latar Belakang
Isu terorisme kembali bergulir semenjak terjadinya penyerangan terhadap 3 (tiga) personil anggota Kepolisian Republik Indonesia (Polri) di Tanggerang 20 Oktober lalu. Pelaku penyerangan yang berinisial SA kemudian kait-kaitkan dengan kelompok teoris ISIS setelah ditemukan stiker berlambang ISIS. Kejadian ini kemudian menjadi alasan beberapa pihak untuk segera merubah undang-undang terkait pemberantasan tindak pidana terorisme (Undang-Undang No. 5 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang).
Pro dan kontra timbul atas wacana perubahan tersebut, dikarenakan apa yang diubah dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 2003 justru dikhawatirkan tidak akan menimbulkan perubahan yang berarti, dan hanya akan menambah permasalahan dalam penegakan hukum yang hakiki.
Bukan hanya Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Tindak Pidana Terorisme yang harus dikritisi, melainkan juga keseluruhan Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme yang berlaku di Indonesia saat ini. Karena adanya kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Abuse Of Power
Lord Action pernah berkata “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Dalam masalah penegakan hukum tindak pidana terorisme, kata corrupt disini dapat diartikan sebagai penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan, dan dalam UU Tindak Pidana Terorisme serta Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Tindak Pidana Terorisme* *kemungkinan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan (abuse of power) sangatlah besar, khususnya dalam hal jangka waktu penahanan.
Dalam Pasal 25 UU Tindak Pidana Terorisme disebutkan:
  1. Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme, dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini.
  2. Untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan, penyidik diberi wewenang untuk melakukan penahanan terhadap tersangka paling lama 6 (enam) bulan.
Sedangkan dalam Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Tindak Pidana Terorisme, Pasal 25 ini diubah menjadi:
  1. Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara Tindak Pidana Terorisme dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
  2. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang melakukan penahanan terhadap tersangka dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari.
  3. Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diperpanjang oleh penuntut umum dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari.
  4. Untuk kepentingan penuntutan, penahanan yang diberikan oleh penuntut umum berlaku paling lama 90 (sembilan puluh) hari.
  5. Jangka waktu penahanan untuk kepentingan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diperpanjang oleh hakim pengadilan negeri dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari.
  6. Dikecualikan dari jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5) guna kepentingan penyidikan atau penuntutan, jangka waktu penahanan dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari.
Jika dalam UU Tindak Pidana Terorisme penyidik diberi wewenang untuk menahan tersangka teroris hingga 6 (enam) bulan lamanya, maka dalam Peraturan Pemerintah Pengganti UU Tindak Pidana Terorisme kewenang tersebut ditingkatkan hingga mencapai 450 hari (1 tahun 2 bulan 15 hari).
Dalam hal wewenang menangkap dan menahan tersangka pelaku tindak pidana terorisme, Polisi masih menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme, sebagaimana disebutkan Pasal 25 ayat (1) UU Tindak Pidana Terorisme:
  1. Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme, dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini.
Berdasarkan 7 ayat (1) Jo. Pasal 16 dan 17 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Polri memang berwenang melakukan penangkapan dan penahanan kepada tersangka yang telah melakukan tindak pidana dengan bukti permulaan yang cukup untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan penyidik.
Akan tetapi, KUHAP kemudian tidak berlaku dalam hal jangka waktu penahanan tersangka pelaku tindak pidana terorisme, dengan alasan UU Tindak Pidana Terorisme adalah Lex Specialis.
Sesuai dengan asas hukum Lex Specialis Derogat Generale, maka KUHAP menjadi tidak berlaku jika dihadapkan dengan UU Tindak Pidana Terorisme.
Tetapi apakah jangka waktu penahanan hingga 450 hari adalah waktu yang cukup atau justru memperlihatkan ketidakmampuan institusi penegak hukum dalam mencari bukti untuk menjerat tersangka pelaku tindak pidana terorisme? Sehingga berpotensi melanggar hak-hak dasar tersangka selaku manusia yang juga masih memiliki hak untuk dilingungi.
Potensi terjadinya abuse of power semakin terasa di Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Tindak Pidana Terorisme, sebagaimana tertera pada perubahan Pasal 28 yang berbunyi:
Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap Setiap Orang yang diduga keras melakukan Tindak Pidana Terorisme dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.
Apabila perubahan Pasal 28 ini disetujui, maka Polisi telah melakukan abuse of power karena telah menangkap seseorang hanya dengan DUGAAN saja, tanpa adanya bukti permulaan. Padahal, Pasal 28 sebelumnya berbunyi:
Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) untuk paling lama 7 x 24 (tujuh kali dua puluh empat) jam.
Pasal 28 UU Tindak Pidana Terorisme sudah memenuhi ketentuan Pasal 1 ayat (14) KUHAP yang menyebutkan:
Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Dari ketentuan Pasal 1 ayat (14) KUHAP dapat kita lihat, untuk menjadi TERSANGKA, seseorang haruslah memenuhi unsur:
    1. Seseorang
    2. Yang karena perbuataannya atau keadaannya
    3. Berdasarkan bukti permulaan
    4. Patut diduga
    5. Sebagai pelaku tindak pidana
Artinya polisi tidak dapat menjadikan seseorang sebagai tersangka apabila tidak ada bukti awal yang membuat seseorang PATUT diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Dengan melakukan penangkapan dan penahanan hanya berdasarkan DUGAAN, artinya polisi telah melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Sama halnya dengan pasal 43A ayat (1) Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Tindak Pidana Terorisme tidak luput dari adanya potensi penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Karena pasal tersebut berbunyi:
Dalam rangka penanggulangan Tindak Pidana Terorisme, penyidik atau penuntut umum dapat melakukan pencegahan terhadap Setiap Orang tertentu yang diduga akan melakukan Tindak Pidana Terorisme untuk dibawa atau ditempatkan pada tempat tertentu yang menjadi wilayah hukum penyidik atau penuntut umum dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan.
Kata “Ditempatkan” kemudian dijelaskan dalam Penjelasan pasal 43A ayat (1) Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Tindak Pidana Terorisme, yang berbunyi:
Ditempatkan pada tempat tertentu dilakukan dalam rangka program deradikalisasi dengan cara reidentifikasi, rehabilitasi, reedukasi, resosialisasi, dan cara lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bahwa semakin jelas Pasal 43A ayat (1) Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Tindak Pidana Terorisme dapat memberikan penahanan ditempat tertentu yang tidak diketahui fungsinya serta lokasinya (Penjara?) terhadap orang yang BARU HANYA DIDUGA melakukan sebuah perbuatan tanpa adanya bukti permulaan.
Potensi Abuse of Powe juga bisa terjadi akibat dari Pasal 43A ayat (4) huruf g yang berbunyi:
Deradikalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dilakukan terhadap:
  1. orang tertentu yang diduga akan melakukan Tindak Pidana Terorisme.
Kembali, kata “diduga” menjadi dasar penghakiman Polisi terhadap seseorang yang dalam hukum, sebelum dia dinyatakan bersalah akibat melakukan sebuah pelanggaran hukum, maka Asas Praduga Tak Bersalah melekat pada diri seseorang. Akan tetapi, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Tindak Pidana Terorisme sepertinya tidak mengindahkan hak-hak manusia dalam hukum. Hal ini justru bertentangan dengan bunyi penjelasan Pasal 43A ayat (3) huruf d Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Tindak Pidana Terorisme, yang berbunyi:
Yang dimaksud dengan “penindakan” adalah penegakan hukum dalam pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang dilakukan oleh petugas penegak hukum.
Apa yang ditegakkan jika undang-undang saja telah melanggar sendi-sendi dan asas hukum itu sendiri. Tidak ada penegakan hukum dengan cara melanggar hukum.
Demikian juga dengan ketentuan Pasal 28A Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Tindak Pidana Terorisme yang memberikan wewenang kepada Jaksa untuk melakukan penelitian berkas perkara dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari. Ini berarti setelah penahanan hingga 450 (empat ratus lima puluh) hari, tersangka tindak pidana terorisme masih harus ditahan selama 30 (tiga puluh) hari di kejaksaan, itu pun belum tentu jaksa langsung menerbitkan surat dakwaan.
Setelah tidak ada kepastian dalam menunggu dakwaan, tersangka teroris pun masih menunggu 90 hari lagi untuk menanti penuntutan jaksa, seperti yang disebutkan dalam perubahan Pasal 25 ayat (4) Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Tindak Pidana Terorisme:
Untuk kepentingan penuntutan, penahanan yang diberikan oleh penuntut umum berlaku paling lama 90 (sembilan puluh) hari.
Apabila Jaksa Penuntut Umum merasa atau tidak dapat membuat berkas penuntutan sebagaimana disebut dalam Pasal 25 ayat (4) Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Tindak Pidana Terorisme, maka berdasarkan Pasal 25 ayat (6) Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Tindak Pidana Terorisme:
Dikecualikan dari jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5) guna kepentingan penyidikan atau penuntutan, jangka waktu penahanan dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari.
Jaksa masih dapat memperpanjang jangka waktu penahanan demi kepentingan penuntutan selama 60 hari lagi dengan seizin Ketua Pengadilan Negeri.
Jika kita rinci, maka berdasarkan Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Tindak Pidana Terorisme, tersangka terorsime harus masuk bui untuk penahanan sebelum sidang menjadi sebagai berikut:
  1. Penangkapan oleh Polisi 30 hari (Perubahan Pasal 28)
  2. Penahanan oleh Polisi 450 hari (Perubahan Pasal 25)
  3. Penahanan oleh Jaksa selama memeriksa berkas perkara dari kepolisian 30 hari (Pasal 28A)
  4. Penahan oleh Jaksa dalam rangka pemberkasan penuntutan 150 hari (Perubahan Pasal 25 ayat 4&6)
Maka total penahanan yang akan diterima tersangka teroris mencapai: 660 hari atau setara dengan +/- 1 (satu) tahun 8 (bulan) bulan tanpa kepastian hukum.
Peraturan Mengenai Terorisme Di Negara Lain Dan Aturan Internasional
Berkaca kepada contoh-contoh Undang-Undang mengenai Tindak Pidana Terorisme di Inggris (Terrorism Act 2000) yang telah banyak berubah berdasarkan amandemen, Indonesia seharusnya dapat menjadikan amandemen Terrorism Act 2000 sebagai contoh.
Awalnya, Terrorism Act 2000 memberikan wewenang kepada polisi untuk dapat melakukan penahanan tanpa penuntutan kepada tersangka pelaku tindak pidana terorisme selama 7 (tujuh) hari. Akan tetapi kemudian Terrorism Act 2000 terus diamandemen terkait hak penahanan tanpa tuntutan, mulai dari 14 (empat belas) hari, 28 (dua puluh delapan) hari hingga pernah mencapai 6 (enam) bulan penahanan.
Namun pada tahun 2012, Terrorism Act 2000 mengalami amandemen sekali lagi, dimana parlemen Inggris akhirnya mereduksi jangka waktu penahanan tersangka pelaku tindak pidana terorisme menjadi 14 (empat belas) hari saja dengan menggunakan The Protection of Freedom Act 2012.
Alasan mengenai pengurangan masa penahanan tanpa penuntutan itu dikarenakan Parlemen Inggris merasa memperpanjang masa penahanan tanpa penuntutan bertentangan dengan prinsip keadilan dalam negara demokratis, serta prinsip persamaan hak dan kebebasan.
Tidak hanya itu, memperpanjang masa penahanan tanpa penuntutan dinilai kontra produktif dalam hal praktek penegakan hukum, berpotensi melanggar hak-hak orang yang tidak bersalah serta mengancam keluarga serta komunitas masyarakat.
Berbeda dengan Inggris, AS justru memberlakukan hukum militer dalam menangkap dan menahan tersangka pelaku tindak pidana terorisme berdasarkan Authorization for Use of Military Force of 2001 (2001 AUMF) dan The National Defense Authorization Act of 2012 (2012 NDAA).
2001 AUMF memberikan wewenang kepada Presiden untuk menggunakan seluruh kekuatan kepada negara, organisasi atau orang perorangan yang akan merencanakan, melaksanakan, memiliki wewenang atau kegiatan lainnya yang terkait dengan tindakan terror September 2001, atau mereka yang memiliki kemungkinan untuk melakukan serangan terror kepada AS (negara, organisasi atau orang perorangan) di masa depan.
Walau wewenang untuk menahan tidak disebutkan secara tegas dalam 2001 AUMF, banyak pengadilan di AS menggunakan 2001 AUMF sebagai dasar penahanan anggota Al-Qaeda yang berhasil ditangkap.
2001 AUMF kemudian diperkuat dengan 2012 NDAA, dimana undang-undang ini justru memberikan ruang kepada legislative untuk mendukung pemberlakuan hukum perang dalam rangka menangkap dan menahan orang-orang yang terkait dengan terorisme baik dahulu maupun di masa yang akan datang.
Dua peraturan inilah yang kemudian menjadikan tahanan tindak terorisme di Guantanamo Bay seakan dipenjara seumur hidup tanpa menjalani penuntutan dan persidangan. Padahal bukti-bukti yang didapat oleh kalangan intelijen AS sudah cukup menjadi bukti persidangan.
Mengapa AS menjadi contoh, karena Paman Sam melakukan penahanan berdasarkan bukti-bukti intelijen, yang menggambarkan bagaimana koordinasi intelijen yang benar dapat mencari bukti untuk dilakukannya penahanan. Akan tetapi, jangka waktu penahanan tanpa tuntutan ini sudah menjadi kajian hukum di AS, karena dianggap melanggar hak asasi manusia.
Selain itu, di AS ada hal penting yang terus menjadi perhatian. Yakni, apabila ancaman aksi terror kepada AS hilang, apakah para tahanan tersebut akan dilepaskan atau justru disidangkan. Atas pertanyaan ini, kalangan akademisi hukum AS menyarankan agar pemerintah menggunakan Hukum Pidana Federal, karena lebih memberikan kepastian hukum. Tidak hanya itu, menurut Hukum Pidana Federal AS, polisi hanya dapat menahan tersangka teroris selama 1 (satu) hari saja.
Lalu kenapa Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Tindak Pidana Terorisme bisa dianggap sebagai abuse of power?
Berdasarkan Konvensi Genewa khususnya Article 75 Protokol Tambahan Pertama mengatakan:
“who are in the power of a Party to the conflict and who do not benefit from more favorable treatment under the Conventions or under this Protocol shall be treated humanely in all circumstances” and “without any adverse distinction based upon race, colour, sex, language, religion or belief, political or other opinion, national or social origin, wealth, birth or other status, or on any other similar criteria.”
Yang pada intinya menyatakan bahwa seseorang harus diperlakukan secara manusiawi dalam segala hal dan tanpa ada perbedaan dikarenakan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama dan kepercayaan, politik atau perbedaan pendapat, kewarganegaraan dan kelas social, atau yang dapat dipersamakan.
Pasal 203 Article 75 juga mengelaborasi Article 3 Konvensi Genewa, yang secara spesifik mengatakan:
“violence to the life, health, or physical or mental well-being of persons” is prohibited, including tliating or degrading treatment, or the threat of such violence or treatment.
Kemudian dalam 204 Article 75 disebutkan:
detainees must be informed of the reasons for their detention and must be released as soon as the circumstances justifying their detention cease to exist.
Tidak hanya itu, Pasal 205 Article 75 juga mengatur masalah perlindungan hukum bagi mereka yang menjadi tersangka, baik ketka menjalani persidangan, mendapatkan informasi mengenai tuntutan dan dakwaan yang diberikan kepadanya serta hak untuk membela diri, dimana semuanya harus dilaksanakan dengan menerapkan asas PRADUGA TAK BERSALAH.
Kesimpulan
Penegakan hukum adalah cara untuk menimbulkan rasa aman kepada setiap warga negara Indonesia dari setiap ancaman, salah satunya ancaman terorisme.
Melihat keadaan saat ini, teror seakan telah manjadi sebuah ancaman yang pasti keberadaannya di Indonesia, untuk itu dibutuhkan instrument-instrumen hukum yang dapat menjangkau para pelaku teror dan menghentikannya, bila perlu dimusnahkan.
Keberadaan pasal-pasal yang memberikan wewenang kepada pihak Kepolisian Republik Indonesia agar dapat menangkap seseorang hanya dengan “dugaan” saja tanpa adanya bukti yang kuat adalah sebuah bentuk pelanggaran atas asas hukum itu sendiri. Itu sama saja dengan melegalkan “fitnah”, padahal hukum jelas mengedepankan Asas Praduga Tak Bersalah.
Kesewenang-wenangan aparat juga akan tumbuh dengan adanya “pasal-pasal Guantanamo” yang dapat menahan “terduga teroris” hingga hitungan tahun tanpa kepastian hukum. Padahal jika kita bicara hukum, keberadaan peraturan perundangan adalah cara untuk mendapatkan kepastian hukum bagi setiap warga negara.
Perang melawan terorisme adalah sebuah hal yang niscaya harus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia saat ini dan kedepannya karena ancaman terorisme belumlah sepenuhnya hilang. Akan tetapi, upaya perlawanan terhadap teror tidaklah bisa dilakukan dengan menebar “teror” itu sendiri kepada setiap warga negara Indonesia dengan cara berlindung di balik pasal-pasal sebuah undang-undang.
*Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Tindak Pidana Terorisme yang penulis*gunakan adalah versi tanggal 29 Januari 2016, saat tulisan ini terbut (1 November 2016) RUU tersebut masih digodok oleh DPR RI, sehingga masih akan ada perkembangan-perkembangan ke depannya.
hobbymiliter is offline   Reply With Quote
Sponsored Links
Post New Thread  Reply

Bookmarks



Similar Threads
Thread Thread Starter Forum Replies Last Post
Benteke: Saya Butuh Kepastian rezky setiawan Forumku Sepak Bola 1 15th June 2019 01:41 AM
Hukum Privat / Hukum Perdata Perbankan r1n2rd Berita dan Informasi 1 4th June 2015 04:08 PM
GAPKI Minta Pemerintah Beri Kepastian Hukum bagi Pengusaha Sawit nonasakamoto Business and Economy! 0 30th January 2015 12:32 PM
Kaos Kaki Anti Bakteri Dan Anti bau Pria maupun Wanita sintaananta Mode dan Pakaian 0 1st May 2014 02:41 PM
Sabun Kesehatan Anti Bakteri dan Anti Keputihan sintaananta Mode dan Pakaian 0 30th April 2014 10:14 AM


Currently Active Users Viewing This Thread: 1 (0 members and 1 guests)
 
Thread Tools Search this Thread
Search this Thread:

Advanced Search
Display Modes

Posting Rules
You may not post new threads
You may not post replies
You may not post attachments
You may not edit your posts

BB code is On
Smilies are On
[IMG] code is On
HTML code is Off

Forum Jump


All times are GMT +7. The time now is 01:54 AM.


forumku.com is supported by and in collaboration with

forumku.com kerja sama promosi kiossticker.com 5 December 2012 - 4 Maret 2013 Web Hosting Indonesia forumku.com kerja sama promosi my-adliya.com forumku.com kerja sama promosi situsku.com

Promosi Forumku :

CakeDefi Learn to Earn

Positive Collaboration :

positive collaboration: yukitabaca.com positive collaboration: smartstore.com positive collaboration: lc-graziani.net positive collaboration: Info Blog

Media Partners and Coverages :

media partner and coverage: kompasiana.com media partner and coverage: wikipedia.org media partner and coverage: youtube.com

forumku.com
A Positive Indonesia(n) Community
Merajut Potensi untuk Satu Indonesia
Synergizing Potentials for Nation Building

Powered by vBulletin® Version 3.8.7
Copyright ©2000 - 2024, vBulletin Solutions, Inc.
Search Engine Optimisation provided by DragonByte SEO v2.0.37 (Lite) - vBulletin Mods & Addons Copyright © 2024 DragonByte Technologies Ltd.
Google Find us on Google+

server and hosting funded by:
forumku.com kerja sama webhosting dan server
no new posts